ARTICLE AD BOX
ANALISIS
Abdul Susila | CNN Indonesia
Rabu, 30 Jul 2025 08:02 WIB

Jakarta, CNN Indonesia --
Sekali lagi, Stadion Gelora Utama Bung Karno (GBK) jadi saksi bisu kegagalan Timnas Indonesia mengangkat trofi juara di partai final kejuaraan ASEAN.
Setelah SEA Games 1997 dan 2011, lantas Piala AFF 2002 dan 2010, sekarang Indonesia kandas dalam Piala AFF U-23 2025 di GBK. Garuda Muda takluk 0-1 dari Vietnam di final, Selasa (29/7).
Setelah meraih lencana emas bagian sepak bola SEA Games 1987, GBK seperti dikutuk. Selama 38 tahun, tak pernah lagi Merah Putih berdiri di podium tertinggi dalam final di GBK.
ADVERTISEMENT
Namun, kegagalan ini tak patut dikutuk. Ini hanya bagian dari perjalanan pekerjaan anak-anak muda Indonesia di panggung sepak bola Asia Tenggara. Jalan mereka tetap sangat panjang.
Masih ada pentas nan lebih besar di depan. Mereka bakal ke pentas dunia, barangkali, jika memetik hikmah, jika makin termotivasi, jika disiplin latihan makin menjadi.
Tepisan penalti Muhammad Ardiansyah di semifinal saat melawan Thailand, niscaya tak bakal dikenang. Aksi itu bakal luntur dari ingatan publik. Toh, itu hanya bagian mini di babak semifinal.
Enam gol Jens Raven ke gawang Brunei Darussalam juga tak bakal monumental. Mungkin saja kekal sebagai rekor, tapi sama sekali tak membuktikan ketajaman dan keandalan seorang striker.
Kisah Arkhan Fikri nan menahan sakit saat tampil di final juga bakal sirna. Terlalu banyak kisah heroik di sepak bola. Sudah terlalu banyak pemain nan mengalami perihal serupa.
Namun, nama mereka bakal dikenang dan diperhitungkan jika bangkit setelah tumbang. Kalah di final, seperti kata pepatah bijak, adalah cerita awal dari sebuah sukses di masa depan.
Tentu saja, namanya awalan, pasti berat dan sulit. Bangkit itu mudah diucap dan ditulis dalam berita. Sebaliknya, menjaga api semangat di dalam dada, nan susah separuh nyawa.
Daffa Fasya, nan sama sekali tak dapat menit main di Piala AFF U-23 2025 kendati bagian dari skuad Piala AFF U-23 2023, layak marah. Marah pada diri sendiri. Ini namanya cemeti realita.
Cahya Supriyadi, Althaf Indie, Yardan Yafi, dan Firman Juliansyah, sebagai pemain nan menit mainnya minim, perlu pula introspeksi. Ini waktunya berlatih lebih gigih dari sebelumnya.
Bagi Brandon Scheunemann, Achmad Maulana, Victor Dethan, Dominikus Dion dan Alfharezzi Buffon, ini momentum mendobrak logika. Kalian bukan pilihan utama, tapi punya daya jadi nan terbaik.